KONTROVERSI UJIAN NASIONAL


“Kebijakan Pemerintah tentang Standar Nasional yang telah memberatkan dunia pendidikan seharusnya diimbangi dengan implementasi kebijakan yang seimbang terutama menyangkut peningkatan kualitas SDM Guru, kesejahteraannya, dan perbaikan sarana dan infrastruktur yang mendukung peningkatan mutu pendidikan”.

Bagi sebagian besar kalangan pendidikan antara Guru dan UNAS merupakan dua sosok yang tidak dapat dipisahkan karena adanya faktor ketergantungan yang sama-sama mempunyai pengaruh dan saling membutuhkan.
Namun hal itu hanya merupakan bagian riak kecil yang dilakukan oleh beberapa individu yang kuat dengan gaya idealismenya, dan kita tidak bisa menutup ruang gerak mereka walaupun ada yang beranggapan bahwa yang mereka lakukan sebagai bagian dari usaha untuk keberlangsungan dan masa depan anak didiknya. Tidak ada orang tua yang tega secara naluri menjerumuskan anak-anaknya walaupun diantara mereka memiliki sikap yang tidak etis, kurang baik, tidak bersahabat, membangkang, dan kurang berlaku adil terhadap orang tuanya. Toh juga itu merupakan bagian dari sisi kehidupannya (penerus estafet keberlangsungan hidupnya). Kita semua sadar bahwa apa yang mereka anggap usaha adalah bagian dari perbuatan yang dapat menjerumuskan masa depannya. Istilah “yang penting” tidak bisa dijadikan alasan untuk memperkuat gagasan atau argumennya.Serba salah dan dilematis terutama dirasakan guru, karena BINJAR, TRY OUT, pendalaman materi, pembahasan dan bedah soal UNAS yang dijadwalkan mulai dini sudah dilaksanakan. Bahkan ada yang melaksanakan kegiatan strategi tsb mulai senin sampai hari sabtu dengan waktu pagi-siang- sore sampai harus menutup mata pelajaran yang lain dan tidak kalah penting untuk menambah ilmu pengetahuan terutama menyangkut kompetensi siswa. Himbauan itu tidak hanya secara lisan tapi secara tertulis untuk dilaksanakan pada semester lima dan enam untuk lebih difokuskan pada mata pelajaran yang di-UNAS-kan.
Dalam hal ini kita tidak bisa menyalahkan siapa atau mencari kambing hitam, dan guru tidak serta merta harus menjadi ujung tombak, bertanggung jawab, terhadap kelulusan anak. Secara umum penyebab dan faktor ketidaklulusan anak bukan karena guru kurang profesional atau miskin metode, atau pihak sekolah yang kurang memiliki perhatian atau sengaja dibiarkan agar siswa lebih memperhatikan dan mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional. Tetapi paling tidak dalam setahun (setiap tahun) minimal ada evaluasi dan koreksi terhadap semua unsur manajemen yang berhubungan dengan UNAS.
Beberapa waktu yang lalu sesaat sebelum pelaksanaan UNAS ada seorang guru yang berusaha menyelamatkan siswanya dari ketidaklulusan dengan jalan mencuri soal untuk persediaan kunci jawaban. Terhadap sikap yang demikian, dari segi etika kita boleh memvonis bahwa guru terserbut salah atau melanggar hukum, tetapi secara hukum kemanusiaan dan hati nurani sikap toleransi atau pembenaran terhadap sebuah tindakan sah saja dilakukan untuk menyelamatkan korban dari sebuah kebijakan yang kurang populer karena ketidaksiapan pelaksananya. Cara dan strategi yang mereka gunakan yang salah dan kurang tepat, seharusnya permainan itu lebih halus dan cantik walaupun secara moral itu tidak dibenarkan. Tujuan guru sangat mulia dan dalam hati kecilnya pun tumbuh perasaan sebagai orang tua yang telah melahirkannya menghadapi sebuah pertanyaan bagaimana jika seandainya anak-anak mereka gagal menyelesaikan tugas akhirnya dan apa kata dunia, lingkungan serta masyarakatnya.
Seandainya dunia dapat membuka mata lebar-lebar mereka akan menyadari bahwa gurulah yang layak untuk mendapatkan gelar “pahlawan tanpa tanda jasa”. Tapi di benak mereka hanya mengkritik dan menghujat, menganggap semua yang dilakukan guru adalah salah. Walaupun kita bisa membaca dan mendengar secara kasat mata bahwa perjuangan guru murni untuk mengantarkan kesuksesan dan meraih cita-cita anak didiknya. Cobalah kita renungkan bagaimana seandainya jika kita mempunyai siswa 150 dan dari sekian tersebut tidak ada satu pun yang lulus, haruskah kita membiarkan mereka meratap sepanjang jaman, menyesali nasibnya, dan gagalnya harapan dan cita-cita karena tiga mata pelajaran, walaupun pada sisi yang lain sebagian besar diantara mereka memiliki segudang tropi, sertifikat penghargaan, medali emas, dan selalu juara dalam setiap even, sementara pada saat UNAS mereka gagal hanya karena tiga mata pelajaran ( B. Inggris, Matematika, dan B. Indonesia).
Mendukung walaupun tidak sepenuhnya apa yang dilakukan oleh kawan-kawan yang tergabung dalam “komunitas Air Mata Guru” sebagai bentuk perjuangan untuk menyadarkan pemerintah bahwa sebagian besar komponen pendidikan di Indonesia belum siap dengan semua bentuk kebijakan yang telah mengamanatkan point-point standar nasional dengan pencapaian nilai UNAS 4,50 dengan nilai rata-rata kelulusan dan 5,25 dengan penambahan mata pelajaran UNAS program IPA (fisika, kimia, dan biologi) dan SMK untuk mata pelajaran yang sesuai kompetensinya. Walaupun dalam hati kecilnya teman-teman komunitas AMG sama juga dirasakan oleh sebagian besar guru dan orang tua pada umumnya, namun mereka tetap menganggap bahwa kejujuran tidak akan dikalahkan oleh sebuah kezaliman. Biarkan masyarakat dan lingkungan yang menilai, walaupun banyak yang mengecam dan menyetempel mereka sebagai guru yang gagal.
Dari segi komitmen, pemerintah untuk melaksanakan amanat undang-undang ternyata masih jauh dari kenyataan dan harapan masyarakat pada umumnya. Salah satu contoh untuk mengegolkan anggaran 20% untuk pendidikan dari APBN sampai sekarang belum berhasil dengan berbagai alasan. Kebijakan pemerintah tentang standar nasional yang telah memberatkan dunia pendidikan seharusnya diimbangi dengan implementasi kebijakan yang seimbang terutama menyangkut peningkatan kualitas SDM guru, kesejahteraannya, serta perbaikan sarana dan infrastruktur yang mendukung peningkatan mutu pendidikan”. Seperti disampaikan Imam Prasodjo (ketua YPAI) di sebuah tayangan parodi salah satu stasiun televisi yang juga dihadiri staf sekjen Depdiknas (Umar Juoro). Tayangan tersebut mempertontonkan foto-foto sekolah yang rusak, ambruk, kumuh, dan tidak layak pakai bahkan sampai ada bangunan yang hampir membahayakan, siapkah kita dengan kondisi tersebut untuk melaksanakan UNAS.
Sisi lain tayangan tersebut memperlihatkan bagaimana lemahnya pengelolaan manajemen pendidikan, mulai dari penyelewengan dana pendidikan, lambatnya pendistribusian buku penunjang, serta bantuan-bantuan pemerintah yang disunat oleh oknum yang kurang bermartabat. Yang lebih tragis di tayangan tersebut kita menyaksikan anak didik kita dan guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar ( KBM ) di bawah pohon karena kondisi bangunan yang hamper ambruk. Bahkan menurut informasi beberapa media lokal Jawa Timur menginformasikan akan adanya penyelewengan, penyimpangan dan ada kindikasi korupsi terhadap dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS hasil kompensasi BBM). Terhadap hal yang demikian mungkin banyak argumen yang muncul, penyebabnya adalah lemahnya lembaga pengawasan atau kinerja lembaga kontrol yang ditugasi pemerintah kurang maksimal.
Dengan kondisi seperti ini seharusnya perlu adanya kearifan pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional untuk mengkaji ulang kebijakan yang sudah ditetapkan mengenai perlu adanya sentralisasi kurikulum dan penetapan Standar Nasional versi Depdiknas. Jelasnya kebijakan tersebut memberatkan sekolah, guru, siswa,dan orang tua, walaupun secara umum tujuan pemerintah adalah untuk menyeimbangkan mutu pendidikan Indonesia setara dengan negara-negara maju (perpektif global) yang telah menetapkan angka 6 – 7 untuk standar kelulusan minimal.
Tuntutan berbagai kalangan DPR, LSM, LBH, Komunitas Air Mata Guru, dan guru-guru yang tergabung dalam PGRI murni bukan untuk menentang kebijakan pemerintah, tetapi sebagai koreksi dan intropeksi serta perhatian kepada pemerintah bahwa munculnya kebijakan baru harus diimbangi dengan implementasi kebijakan yang menyangkut peningkatan prastasi belajar siswa yang didukung oleh sarana penujang, serta peningkatan kualitas SDM guru yang tidak hanya cukup dengan sertifikasi guru tetapi diimbangi dengan memperbanyak diklat dan lokakarya khusus guru-guru mata pelajaran yang masuk kategori UNAS. Yang lebih penting lagi adalah guru jangan hanya dituntut untuk meningkatkan kualitas dan profesionlisme semata, tetapi tingkat kesejahteraan guru juga perlu diperhatikan. Karena kenyataannya kalau ada siswa yang tidak lulus pasti pertanyaannya siapa guru yang mengajar ? menggunakan metode apa dan buku apa ? bagaimana ijazahnya ? bagaimana aktivitasnya ketika mengajar ? yang ujung-ujungnya adalah guru akan menjadi sasaran tembak
Lain halnya kalau tingkat kelulusan 100 % dalam hal ini guru tidak masuk nominator, yang merasakan senang dan sukses pertama kali adalah siswa, orang tua, kepala sekolah, kepala dinas, dan terakhir adalah guru. Dengan demikian seharusnya pemerintah lebih transparan mengenai anggaran, kalau semuanya sudah dipenuhi termasuk di dalamnya perbaikan infrastruktur, sarana prasarana, peningkatan kualitas SDM guru dan kesejahteraannya serta maksimalnya pengelolaan manajemen, tidak akan ada lagi penolakan dan pembangkangan serta yang merasa dikorbankan. Sehingga antara Depdiknas, kanwil, dinas P&K, guru, dan sekolah pada umumnya akan sama-sama memikirkan, sehingga terjalin interaksi dan saling memberikan evaluasi untuk membicarakan kekurangan dalam setiap perkembangan. Sehingga masa depan UNAS akan menjadi harapan segar bagi seluruh masyarakat tak terkecuali pelaksana pendidikan, pemerhati, komponen bangsa lainnya yang peduli terhadap perkembangan pendidikan yang dicita-citakan sesuai cita-cita proklamasi dan amanat undang-undang dasar negara republik Indonesia yaitu untuk mencerdaskan kehidupanbangsa.

Prospek itu dapat kita cermati dari kesibukan yang dialami sebagian besar Guru, wajah-wajah pendidik yang bingung, dan sikap cemasnya ketika menghadapi pelaksanaan Ujian Nasional. Bahkan jauh hari sebelumnya kalangan guru mata pelajaran Ujian Nasional (B.Inggris, B.Indonesia, dan Matematika) sudah memasang strategi dan kuda-kuda untuk memantapkan posisi sebagai sekolah unggulan, berprestasi, tak terkalahkan oleh yang lain, lulus 100% dengan skor maksimal yang akan berpengaruh pada tingkat lulusan dan penerimaan siswa baru. Ada juga sebagai ajang mempertahankan prestise dan prestasi, menjadi even untuk mempertahankan idealisme, guru ideal, favorit, bertanggung jawab, dan mendapat tempat di mata orang tua murid dan masyarakat.

Oleh :

ACHMAD SUAIDI, S.Pd

GURU B. INDONEISA SMKN PAKONG

3 Tanggapan

  1. Buat semua staf-staf SMK 1 Negeri Pakong. Saya mau tanya ….. Lulusan tahun 2009. Untuk nilai UK nya siapa yang paling tinggi???
    mohon dijawab ya ……….

  2. tlong ceritakan secara detail tentang unas di smk pakong.

Tinggalkan Balasan ke AiniE Batalkan balasan